YANG TERASING-01


YANG TERASING

JILID 1

AWAL | lanjut

YT-01KETIKA senja yang kemerah-merahan mulai menjamah Hutan Sambirata, maka pedukuhan-pedukuhan di sekitarnya menjadi semakin sepi. Burung-burung liar yang berterbangan diatas hutan sempit itu seakan-akan saling berebutan mencari tempat untuk hinggap. Namun akhirnya hutan itu masih juga mampu menampung segala jenis burung yang kemalaman.

Perlahan-lahan bulan yang bening tumbuh diatas punggung bukit melemparkan sinarnya yang kekuning-kuningan. Selembar awan yang putih terbang menyapu wajahnya yang cerah.

Beberapa orang laki-laki tampak berjalan tergesa-gesa di pematang. Setelah mereka bekerja seharian di sawah, maka mereka ingin segera pulang kembali di antara keluarganya, menghirup minuman panas dengan gula kelapa yang manis.

Hari ini mereka pulang agak 1ambat, karena mereka menunggui air parit yang hanya mengalir sepercik karena musim kering yang panjang.

Ketika mereka menyeberangi Kali Kuning, mereka berhenti sejenak untuk mencuci cangkul mereka yang kotor, membersihkan lumpur yang melekat di tangan dan kaki. Kemudian bergegas kembali pulang ke rumah masing-masing.

Seorang yang berambut putih, yang berjalan di paling belakang tertegun sejenak ketika ia melihat. seorang gadis yang berdiri didalam bayangan dedaunan di ujung sederet pering ori yang tumbuh di pinggir sungai itu.

“Siapa disitu?” bertanya laki-laki berambut putih itu.

“Aku Kek” jawab gadis itu.

“Kau Wiyatsih?”

“Ya kek.”

“Kenapa kau disitu? Sebentar lagi malam akan menjadi gelap.”

“Tidak. Sebentar lagi bulan akan naik ke langit”

Laki-laki berambut putih itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tidak pantas kau berada disini seorang diri. Marilah pulang. Nanti orang tuamu mencarimu.”

Wiyatsih tidak menjawab. Ia masih saja berdiri dibawah dedaunan.

“Apakah yang kau tunggu disini?”

“Bulan itu kek. Sinarnya yang kuning akan memantul di wajah air kali yang bening.”

“Ah. Apakah kau sedang bermimpi?” tetapi orang tua itu menengadahkan wajahnya juga. Dilihatnya bulan merayap semakin tinggi. Dan cahaya fajar yang kemerah-merahan pun menjadi semakin kabur.

“Pulanglah, “ berkata laki-laki itu.

“Silahkan kakek dahulu. Aku akan segera menyusul.”

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memaksa. Ditinggalkannya gadis itu di tepian yang menjadi semakin samar.

Sepeninggal laki-laki tua itu, Wiyatsih melangkahkan kakinya turun ke dalam air. Kali Kuning memang tidak begitu besar. Tetapi airnya tidak menjadi kering meskipun hujan tidak turun sampai berbulan-bulan.

“Kakang Pikatan pernah menekuni Kali Kuning ini” gumam Wiyatsih kepada diri sendiri.

Sejenak ia berdiri merendam. kakinya. Dipandanginya air yang mengalir di sela-sela batu yang berserakan. Memercik seakan-akan berkejar-kejaran.

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kalau kakang Pikatan berhasil membuat bendungan itu, maka sawah di padukuhan ini tidak akan mengalami kekurangan air, betapapun musim yang kering membakar daerah ini. Tetapi kakang Pikatan pergi sebelum ia mulai. Pergi untuk waktu yang tidak terbatas” Wiyatsih mengangkat wajahnya, memandang jalur jalan sempit yang melintasi sungai itu

Ia melihat kakaknya pergi lewat jalan sempit itu. Semakin lama semakin jauh. Akhirnya hilang seperti ditelan bumi. Sampai saat ini kakaknya itu belum kembali.

Gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja, tanpa diketahui kapan ia datang, seorang anak muda telah berdiri dibelakangnya.

Dengan lembut anak muda itu menyapanya, “Wiyatsih. Kenapa kau masih berada disini?”

“O” Wiyatsih berpaling. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Tidak apa-apa”

“Ketika aku lewat dimuka rumahmu, ibumu berpesan kepadaku supaya aku mencarimu dan membawamu pulang. Kakek tua itu mengatakan bahwa kau berada disini.”

Wiyatsih tidak segera menjawab. Sekali lagi ia memandang jalan sempit itu. Seakan-akan ia ingin melihat, kakaknya datang dari arah itu pula.

“Apakah kau menunggu seseorang?” bertanya anak muda itu.

“Tidak. Tidak.” gadis itu terdiam sejenak, namun kemudian

“Tanjung, apakah kau masih ingat kepada kakang Pikatan?”.

“Tentu. Pikatan adalah kawanku bermain, “ jawab anak muda yang bernama Tanjung itu.

“Ketika ia pergi, aku sedang berada di tepi Kali Kuning ini. Ia pergi jauh sekali. Sampai sekarang ia tidak kembali. Ibu kadang-kadang menjadi sedih. Dan aku tidak mempunyai saudara lagi selain kakang Pikatan.”

“Sudahlah. Marilah kita pulang. Pada saatnya Pikatan akan kembali.”

Wiyatsih tidak menyahut. Disapunya keringat yang membasahi keningnya dengan ujung bajunya

“Pulanglah dahulu Tanjung.”

“Nanti ibumu marah kepadaku. Aku disuruhnya membawamu pulang.”

“Pulanglah dahulu.”

“Tentu aku tidak akan berani pulang tanpa kau. Dikiranya aku. tidak mau menolongnya, memanggil kau pulang.”

Tanjung berhenti sebentar, lalu, “Kau harus menurut kata-kata ibumu. Kakakmu sudah pergi untuk waktu yang tidak diketahui. Sekarang kau tidak mau mendengar kata-katanya. Ibumu akan menjadi semakin bersedih.”

Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia tidak dapat membantah lagi.

“Ibumu menunggu.”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia mengangguk sambil berkata, “Baiklah kalau kau memaksaku.”

“Aku tidak memaksamu Wiyatsih. Tetapi kasihan ibumu yang akan menjadi semakin kesepian.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah naik dari dalam air dan berjalan diatas tepian berpasir. Namun sekali-sekali Wiyatsih masih juga berpaling, seakan-akan ada sesuatu yang ditinggalkannya di tepian sungai itu.

Tetapi Kali Kuning itu tidak terusik lagi. Tidak ada seorang pun yang masih tertinggal di tepian.

Wiyatsih dan Tanjung pun kemudian berjalan menyelusuri jalan pedukuhan. Kemudian keduanya memasuki regol di mulut lorong dan hilang didalam bayangan kegelapan. Namun sekali-sekali sinar bulan yang kekuning-kuningan menerobos dedaunan dan menyentuh wajah gadis yang muram itu.

Sepeninggal kedua anak-anak muda dan tepian Kali Kuning itu, sesosok tubuh yang ramping muncul dan balik tanggul di seberang. Sejenak ia berdiri bertolak pinggang. Ia masih sempat melihat Wiyatsih dan Tanjung berbelok masuk ke regol padukuhannya.

Sejenak ia berdiam diri. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam, “Aku tidak dapat menemuinya lagi.”

Perlahan-lahan tubuh yang ramping itu pun kemudian duduk diatas tanggul berumput. Sekali-sekali ditengadahkannya pula wajahnya memandang langit yang bersih, kemudian air yang mengalir di Kali Kuning.

Sekali lagi ia berdesah Namun kemudian ia diam merenungi ujung malam yang buram. Dibiarkannya angin yang lembut mengusap wajahnya dan bermain dengan rambutnya yang panjang.

Dalam pada itu, Tanjung telah sampai ke pintu regol halaman rumah Wiyatsih yang luas. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu yang masih belum diselarak itu.

“Terima kasih” desis Wiyatsih kemudian, “aku sudah berani sekarang.”

Tanjung menjadi heran. Gadis itu berada di Kali Kuning seorang diri. Sekarang tiba-tiba seperti gadis yang ketakutan, ia berkata bahwa ia sudah berani sendiri.

Karena Tanjung seakan-akan menjadi bingung, Wiyatsih tersenyum sambil berkata, “Maksudku, biarlah aku pulang sendiri. Terima kasih atas pertolonganmu, menyampaikan pesan ibu.”

“Tidak Wiyatsih. Aku harus membawamu pulang. Aku mendapat pesan dari ibumu. Karena itu, biarlah, marilah aku serahkan kau kepada ibumu.”

“Kenapa aku harus diserahkan? Aku pergi sendiri, bukan karena aku pergi bersamamu dari rumah ini. Karena itu, biarlah aku pulang sendiri. Kau sudah menolong ibuku, menyampaikan pesan itu agar aku pulang.”

Tanjung menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Memang jarak pintu regol itu sampai ke pendapa rumahmu sudah tidak begitu jauh lagi.”

“Terima kasih Tanjung.”

Tanjung pun kemudian meninggalkan Wiyatsih di regol halaman rumahnya. Langkahnya tampak tergesa-gesa, seakan-akan ia takut kemalaman sampai ke rumah. Sejenak kemudian, anak muda itu sudah hilang di kelokan jalan sempit di sebelah halaman tetangga.

Wiyatsih berdiri termangu-mangu sejenak. Dilihatnya pendapa rumahnya yang besar dan terang. Tetapi ia tidak melihat seorang pun. Meskipun pintu pringgitan masih terbuka sedikit, namun agaknya tidak seorang pun yang melihat kehadirannya.

Karena itu, maka dengan hati-hati ia beringsut, justru keluar regol halaman rumahnya. Perlahan-lahan ia menutup pintu regol itu.

Tetapi gadis itu terlonjak, ketika tiba-tiba saja terasa pundaknya digamit seseorang. Hampir saja ia menjerit. Namun ketika ia berpaling, dilihatnya didalam kesuraman cahaya bulan, Tanjung sudah berdiri di belakangnya.

“He, kenapa kau masih berada disini?”

Tanjung tertawa pendek. Katanya, “Aku meloncati dinding halaman sebelah. Aku memang menaruh curiga terhadap sikapmu. Kau agaknya sedang disaput oleh gangguan perasaan.”

Wiyatsih mengerutkan keningnya. tetapi sebelum ia menjawab, Tanjung sudah mendahuluinya, “jangan terlampau memikirkannya. Pada saatnya kakakmu itu akan kembali. Bukankah rumah ini rumah Pikatan. Betapapun Juga terbang seekor burung bangau, namun akhirnya ia akan hinggap di genangan air sawah. Sebab disanalah ia dapat menemukan makanannya.”

“Tetapi bukan disini kakang Pikatan mendapat sumber penghidupannya.”

“Dimana lagi? Bukankah ia akan mewarisi sawah ibumu yang sangat luas itu bersamamu. Peninggalan ibumu banyak, tanah yang paling subur di daerah ini. Rumah yang besar dan mungkin juga barang2 perhiasan dalam peti-peti kayu didalam rumah itu.”

“Ah.”

“Kemana lagi kakakmu nanti akan kembali?”

“Mudah-mudahan ia masih sempat kembali.”

“Tentu. Ia tentu akan kembali.” Tanjung berhenti sejenak, lalu, “Marilah. Aku terpaksa mengantarmu kepada ibumu. Aku tidak ingin bermain sembunyi-sembunyian lagi. Agaknya sudah terlampau besar bagi kita, meskipun dimalam terang bulan. Hanya anak-anak sajalah yang pantas bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian di terang bulan begini.”

Wiyatsih menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Marilah” berkata Tanjung.

Wiyatsih tidak dapat mengelak lagi. Sekali lagi ia membuka pintu regol halaman rumahnya dan berjalan melintasi halaman itu, naik ke pendapa. perlahan-lahan mereka mengetuk pintu pringgitan, seperti seorang tamu yang asing di rumah itu.

Wiyatsih tidak menunggu seseorang menyapanya. Bahkan sambil membuka pintu, ia sendirilah yang mempersilahkan Tanjung masuk.

“Marilah Tanjung, agaknya ibu berada di belakang.”

Tanjung pun kemudian masuk terbungkuk-bungkuk, lalu duduk diatas sehelai tikar pandan yang putih.

“O, kau Wiyatsih” terdengar suara perempuan lantang dari dalam.

“Ya ibu.”

“Dari mana kau? Apakah kau tidak tahu bahwa hari sudah menjadi gelap?”

“Tidak ibu. Malam tidak menjadi gelap. Bahkan menjadi semakin terang.”

“Ah, kau anak bengal, Dimana kau sembunyi? Untunglah kakek tua itu melihatmu, dan tanjung lewat dimuka regol. Aku minta ia mencarimu.”

“Sekarang aku sudah disini.”

Perempuan yang gemuk, ibu Wiyatsih itu pun kemudian pergi juga ke pringgitan menemui Tanjung. Sambil tersenyum-senyum ia berkata, “Terima kasih Tanjung. Anak ini memang nakal.”

“Ya bibi” jawab Tanjung sambil membungkukkan kepalanya hampir menyentuh tikar pandan, “aku menemukannya di pinggir Kali Kuning.”

“Apa yang dikerjakan disana?”

“Aku tidak tahu bibi. Tetapi ia berendam didalam air.”

“Apakah kau sedang mandi?” bertanya ibunya kepada Wiyatsih.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Tidak ibu”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya Kemudian katanya “Ambillah minuman buat Tanjung.”

“Sudah bibi. Tidak usahlah.”

“Biarlah. Biarlah Wiyatsih belajar menerima seorang tamu.”

Wiyatsih mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdiri dan pergi kebelakang.

“Apa yang dilakukan sebenarnya?” bertanya ibu Wiyatsih itu.

“Tidak apa-apa bibi. tetapi menilik dari kata-katanya, ia merindukan kakaknya, Pikatan. Ia mengantar Pikatan sampai ke pinggir sungai itu ketika kakaknya pergi. Sekarang seakan-akan ia mengharap kakaknya itu datang dari arah itu juga.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi karena Wiyatsih sudah datang membawa semangkuk air panas.

Setelah minum beberapa teguk, maka Tanjung pun kemudian mohon diri. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata “Sudah terlampau malam bibi. Aku akan pergi ke gardu. Mungkin kawan-kawan sudah ada disana.”

“Terima kasih Tanjung. Sering-sering datang kemari.”

“Ya bibi. Aku akan sering datang kemari.” Tanjung pun kemudian meninggalkan rumah Wiyatsih. Di regol ia berpaling. Dilihatnya Wiyatsih dan ibunya masih berdiri dipendapa.

Ketika Tanjung menutup pintu regol, tanpa disadarinya dipandanginya wajah Wiyatsih sekali lagi. Tidak begitu jelas dibawah cahaya lampu minyak. Namun terasa dadanya berdesir.

“Gadis itu memang cantik” desisnya.

Wiyatsih dan ibunya pun kemudian kembali masuk ke pringgitan. Sambil menepuk bahu anaknya, perempuan yang gemuk itu berkata, “Kau jangan terpukau oleh kerinduanmu kepada kakakmu. Ia seorang anak laki-laki. Sudah sepantasnya ia pergi mencari pengalaman.”

Wiyatsih menundukkan kepalanya.

“Pada saatnya ia akan kembali ke rumah ini.”

“Tetapi” jawab Wiyatsih, “kenapa tidak ada anak muda yang lain yang pergi seperti kakang Pikatan. Tanjung yang sebaya dengan kakang Pikatan sama sekali tidak pergi kemanapun. Buntal dan Ganong juga tidak. Sampun, Wrekta dan Lumajang bahkan telah kawin dan menjadi petani pula seperti ayahnya.”

“Ya, mereka tidak pergi kemanapun karena mereka tidak bercita-cita. Kakakmu tidak puas melihat cara hidup kita disini. Ia mencari pengalaman yang kelak akan bermanfaat bagi hidup kita disini.”

“Ya. Ia menghadap Sultan Demak, Ia ingin menjadi seorang prajurit.”

“Apakah kakang Pikatan tidak berminat untuk hidup sebagai petani di padukuhan ini?”

Ibunya tidak segera menjawab. Pertanyaan itu sebenarnya menggelitik pula didalam hatinya. Ia juga tidak dapat mengerti, kenapa anaknya itu tidak berminat sama sekali untuk melanjutkan tata cara kehidupan yang sudah ditempuhnya sejak berpuluh tahun.

Karena ibunya tidak segera menjawab, maka Wiyatsih bertanya pula, “Begitukah ibu? Kakang Pikatan ingin merubah cara hidup kita, atau ia tidak ingin hidup seperti cara kita?”

“Aku tidak begitu jelas Wiyatsih. Tetapi kepergiannya pasti akan berguna baginya. Setidak-tidaknya ia akan mendapat banyak pengalaman. Pengalaman yang akan berguna bagi kita, dan bagi padukuhan kita.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Dahulu kakang Pikatan pernah merencanakan membuat sebuah bendungan di Kali Kuning, agar sawah yang kering akan dapat air di musim kemarau. Dengan demikian penghasilan petani2 di daerah ini akan segera meningkat.”

Ibunya merenung sejenak. Namun jawabannya kemudian mengejutkan Wiyatsih, “Tidak perlu, Aku kira bendungan itu tidak perlu sama sekali.”

“Kenapa ibu?”

“Bukankah sawah kita sudah terletak di daerah yang tidak pernah kering meskipun di musim kemarau sekalipun?”

“Bukan sekedar sawah kita bu. Tetapi sawah tetangga-tetangga kita.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sudahlah Wiyatsih. Agaknya hari sudah menjadi semakin malam. Tidurlah”.

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam.

“Tidurlah. Aku juga akan tidur, “ ulang ibunya.

Wiyatsih pun kemudian meninggalkan pringgitan setelah menyelarak pintu depan. Setelah mengecilkan lampu, ia pun segera pergi ke biliknya.

Namun Wiyatsih tidak segera dapat memejamkan matanya. Terbayang di rongga matanya, kakaknya Pikatan yang pergi beberapa tahun yang lampau. Kemudian terbayang seseorang yang tidak dikenalnya menjumpainya di pinggir Kali Kuning

Tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu ia berkata, “Aku membawa berita tentang kakakmu, Pikatan. Tetapi ia ingin mendengar serba sedikit tentang keadaan keluarganya yang ditinggalkannya. Apakah kau bersedia datang senja nanti ke Kali Kuning ini? Aku ingin menemuimu tanpa orang lain”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berhasil menemui orang itu. Beberapa kali ia berusaha. Tetapi setiap kali, ada saja orang yang membawanya pulang. Dan orang itu masih juga menemuinya di Kali Kuning dan berbisik sambil berjalan, “Senja nanti. aku tunggu kau di pinggir Kali Kuning.”

Tetapi senja ini pun ia telah gagal lagi.

Kini ia mencoba membayangkan orang yang berbisik itu selagi ia mencuci pakaian. Justru pada saat ia berjalan beriringan. Orang itu selalu memotong jalan tepat dihadapannya, karena ia kadang-kadang berjalan beriringan dengan kawan-kawannya. Demikian orang itu melintas, ia berbisik, “Datanglah senja nanti”

Menurut tanggapannya yang hanya sepintas itu, orang itu adalah seorang perempuan muda. Berpakaian seperti seorang petani biasa, seperti kebanyakan petani di padukuhan ini.

“Tetapi wajahnya kelihatan cantik” desisnya.

Wiyatsih mencoba membayangkan kembali wajah itu. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ya, wajah itu terlampau cantik. Kulitnya tidak sekasar kulitku, dan tidak pula terbakar sinar matahari”

Namun kemudian ia bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi kenapa ia harus bersembunyi? Kenapa ia tidak datang saja ke rumah ini dan berbicara dengan ibu tentang kakang Pikatan dan keluarga di rumah ini?”

Dengan demikian maka Wiyatsih tidak segera dapat memejamkan matanya. Angan-angannya seakan-akan terbang mengambang di langit yang tidak berbatas.

***

Seorang perempuan muda yang bertubuh ramping sedang menunggu dibalik tanggul Kali Kuning. Betapa ia menjadi kecewa, karena senja itu ia tidak juga dapat bertemu dengan Wiyatsih. Padahal waktunya sangat terbatas. Ia harus segera meninggalkan padukuhan di pinggir Alas Sambirata itu.

“Sebaiknya aku mencoba menemuinya dirumahnya” katanya, “tetapi tidak boleh dilihat oleh orang lain. Pesan Pikatan jelas sekali. Hanya Wiyatsih yang boleh aku temui.”

Tiba-tiba tubuh yang masih terduduk diatas tanggul itu melenting. Seperti tidak menyentuh tanah orang itu berlari menyeberangi sungai. Kemudian dengan hati-hati ia memasuki padukuhan Sambirata. Dihindarinya jalan-jalan yang melewati gardu-gardu peronda, supaya tidak ada seorang pun yang melihatnya. apalagi menyapa dan mencurigainya.

Ketika ia sudah berada di halaman rumah Wiyatsih, ia menjadi bingung sejenak. Apakah yang akan dilakukannya? Ia sama sekali belum tahu, dimanakah bilik Wiyatsih. Kalau ia mengetuk dinding, maka mungkin sekali ia justru mengetuk dinding bilik ibunya.

Sejenak perempuan itu merenung. Namun kemudian ia pun mengendap mendekati dinding. Dicobanya untuk mendengarkan, apakah orang-orang didalam rumah itu sudah tertidur.

Perempuan itu mengetahui dari Pikatan, bahwa isi rumah itu hanyalah Wiyatsih, ibunya dan beberapa orang pelayan yang tidur di bagian belakang. Seorang kemanakan di gandok kiri dan seorang paman yang sudah tua di gandok kanan.

“Hanya Wiyatsih dan ibunya” desis perempuan itu. Sejenak kemudian perempuan itu pun semakin jauh menyelusuri dinding. Ia tertegun sejenak ketika ia mendengar desah nafas di balik dinding itu. Tetapi ia tidak dapat membedakan, apakah desah itu desah nafas Wiyatsih atau justru ibunya.

Sejenak perempuan itu mencoba untuk mendengarkannya dengan saksama. Terasa dari desah nafas itu. bahwa yang berada di dalam bilik itu sedang gelisah.

Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun kemudian melangkah maju beberapa depa. Sekali lagi ia mendengar tarikan nafas di bilik yang lain. Tetapi ia menduga bahwa orang yang berada didalam bilik itu pasti sudah tidur.

“Aku kira, Wiyatsih lah yang sedang diganggu oleh kegelisahan itu” berkata perempuan itu didalam hatinya. Karena itu, maka sekali lagi ia mendekati suara desah yang gelisah itu.

“Aku harus berani berbuat untung-untungan” katanya di dalam hati, “kalau tidak, pekerjaanku tidak akan selesai. Aku akan mengetuk dinding dan memanggilnya. Kalau aku keliru, aku harus segera lari meninggalkan halaman ini”

Demikianlah, meskipun dengan ragu-ragu, perempuan itu mulai mengetuk dinding, perlahan-lahan sekali.

Wiyatsih, yang ada didalam bilik itu, segera mendengar ketukan yang lirih itu. Sejenak ta mencoba meyakinkan, apakah ia memang benar-benar mendengar suara.

Ketukan di dinding biliknya masih juga terdengar. Perlahan sekali.

Wiyatsih bangkit dari pembaringannya. Terasa bulu-bulunya meremang. Suara yang perlahan-lahan itu membuatnya ketakutan.

“Wiyatsih” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan, “apakah aku mengetuk bilik Wiyatsih.”

Wiyatsih masih belum menjawab. Tetapi selangkah ia maju mendekat.

“Apakah kau ada didalam bilik ini Wiyatsih?” sekali lagi ia mendengar suara itu.

Dengan ragu-ragu Wiyatsih pun kemudian bertanya, “Siapa? Aku berbicara dengan siapa?”

“O, jadi aku benar-benar telah mengetuk bilikmu. Aku adalah perempuan yang kau temui di pinggir Kali Kuning. Aku menunggumu. Tetapi kau tidak datang.”

“Kaukah itu? Aku sudah mencoba menunggumu di pinggir Kali Kuning. Tetapi seseorang telah memaksaku untuk meninggalkan tepian.”

“Waktuku sudah habis Wiyatsih Sudah hampir lima hari aku berada di sekitar Alas Sambirata ini. Aku akan segera kembali, tetapi aku belum sempat menyampaikan pesan Pikatan kepadamu.”

“Jadi” desis Wiyatsih sambil melekatkan mulutnya di dinding, “apakah yang harus aku kerjakan?”

“Keluarlah sebentar. Sebentar saja.”

Wiyatsih menjadi ragu-ragu.

“Aku memang perlu menemuimu.” terdengar suara itu.

“Baiklah. Aku akan keluar.”

Wiyatsih pun kemudian berjingkat perlahan-lahan keluar dari biliknya. Dengan hati-hati ia melangkah ke pintu butulan, dan dengan sangat hati-hati pula ia mengangkat selarak pintu dan membukanya.

Sejenak Wiyatsih menjadi ragu-ragu. Cahaya bulan yang kekuning-kuningan memancar di halaman samping rumahnya, di longkangan gandok

“Dimanakah perempuan itu?” desisnya kepada diri sendiri.

Wiyatsih terperanjat ketika ia mendengar suara. Di sudut rumahnya, “Aku disini Wiyatsih.”

“O” perlahan-lahan Wiyatsih menuruni tangga pintu butulan.

Dengan ragu-ragu ia berjalan mendekati sudut rumahnya. Sebab bayangan yang kehitam-hitaman tampak berdiri tegak berpegangan tiang.

“Kau?” semakin dekat Wiyatsih menjadi semakin berdebar-debar.

Perempuan yang berdiri itu tampaknya lain sekali dengan perempuan yang pernah menjumpainya dan berbisik ditelinganya, “Senja nanti aku menunggumu di pinggir Kali Kuning.”

“Siapakah kau?” suara Wiyatsih mengandung kecemasan.

“Jangan takut” bisik bayangan itu. Suaranya pasti suara seorang perempuan, “aku adalah perempuan yang pernah menjumpaimu beberapa kali itu.”

Wiyatsih kemudian berdiri termangu-mangu beberapa langkah di hadapan bayangan yang berdiri di sudut itu.

“Kemarilah. Jangan berdiri di sinar bulan. Kalau ada orang yang melihatmu, ia akan segera menjadi curiga. Di malam hari begini kau berdiri di halaman ini.”

Wiyatsih pun kemudian maju beberapa langkah. Tanpa sesadarnya ia pun kini berlindung dari sinar bulan yang terang. Namun dengan demikian ia dapat melihat perempuan itu semakin jelas.

“Kemarilah” desis perempuan itu.

Wiyatsih seolah-olah menjadi bingung. Apalagi ketika ia melihat pakaian perempuan itu. Pakaiannya sama sekali tidak seperti yang dipakainya ketika ia menjumpainya di Kali Kuning. Pakaian yang dipakainya kini adalah pakaian seorang laki-laki. Bahkan perempuan itu memakai ikat kepala pula.

“Aku akan berbicara sedikit Wiyatsih” berkata perempuan itu.

Wiyatsih menjadi semakin heran ketika ia melihat, di lambung perempuan itu tergantung sehelai pedang.

“Apakah kau heran melihat pakaianku?” bertanya perempuan itu.

Wiyatsih menganggukkan kepalanya

“Memang aku berpakaian aneh. Bukan lajimnya pakaian seorang perempuan. Tetapi aku perlu memakainya karena aku harus menyesuaikan dengan tugasku kali ini.”

“Tetapi siapakah kau sebenarnya? Kau belum pernah mengatakan. Siapa namamu dan apakah hubunganmu dengan kakang Pikatan?”

Perempuan itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, “Namaku Puranti.”

“Puranti, “ Wiyatsih mengulang.

“Ya, lengkapnya terlampau panjang. Kakek memberiku nama Tri Asuji. Aku lahir pada hari ketiga di bulan Asuji”

“Jadi?”

“Tri Asuji Puranti. Tetapi aku mempergunakannya hanya yang terakhir.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia masih juga bertanya, “Apakah hubunganmu dengan kakang Pikatan?”

Sejenak Puranti terdiam. Ditatapnya wajah Wiyatsih. Lalu jawabnya, “Jangan kau tanyakan hal itu. Tetapi baiklah aku menyampaikan pesannya. Khusus kepadamu.”

Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Dan ia pun bertanya, “Apakah kau tidak menyampaikannya juga kepada ibu?”

Puranti menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak mendapat pesan demikian. Aku hanya akan menyampaikannya kepadamu saja.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kalau begitu, katakanlah.”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya kemudian, “Kakakmu sudah sampai ke Demak beberapa hari yang lampau.

“He? Baru beberapa hari yang lampau? Sedangkan ia sudah berangkat beberapa tahun yang lampau.”

Puranti tersenyum. Katanya, “Terlampau panjang untuk menceriterakannya. Yang penting, kakakmu sudah menghadap Panglima Tamtama.”

“O. Dan kakang Pikatan akan menjadi seorang prajurit?”

“Ya. Tetapi sekarang belum. Kakakmu masih harus menghadapi beberapa macam pendadaran.”

“O”

“Ia telah berhasil melampaui pendadaran di lingkungan keprajuritan Demak. Tetapi itu masih belum cukup.”

“Apakah yang sudah dilakukan oleh kakang Pikatan?”

“Bermacam-macam. Kakakmu sudah berhasil melampaui segala macam ujian. Memanjat, meloncat, berkelahi dan bermain-main dengan senjata. Bahkan ia sudah berhasil mengalahkan seorang prajurit yang memang ditugaskan untuk menguji kemampuan calon prajurit-prajurit baru.”

“Lalu apa lagi?”

“Masih ada satu pendadaran. Kakakmu masih harus melakukan tugas yang sangat berat sebelum ia diterima menjadi seorang prajurit.”

“Pendadaran apa lagi?”

“Karena itulah aku diminta untuk datang menemuimu. Sudah terlampau lama ia rindu kepadamu. Justru kau sering nakal dimasa kecilmu. Benar begitu?”

“Ah. Bukan aku yang nakal, tetapi kakang Pikatan.”

“Barangkali begitu. Tetapi kau tidak dilupakannya.”

“Kenapa hanya aku dan bukan ibu?”

“Aku tidak tahu. Aku belum mengenalmu dan juga belum mengenal ibumu. Tetapi menurut kakakmu, ia agak berbeda pendirian dengan ibumu menghadapi kampung halamannya. Ia bercita-cita untuk merubah cara dan tata kehidupan di padukuhan ini dan sekitarnya. Tetapi ibumu tidak sependapat.”

“Dan karena itu kakang Pikatan meninggalkan padukuhan ini untuk waktu yang tidak terbatas?”

“Sebagian. Tetapi sebagian karena ia mempunyai cita-cita yang lain pula, yang seimbang dengan cita-citanya di padukuhan ini”

“Menjadi seorang prajurit?”

“Ya. Menjadi seorang prajurit.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan kakang dapat berhasil. Ia akan bangga. Aku dan seluruh keluargaku akan bangga juga. Seorang diantara kami menjadi seorang prajurit. Bukankah prajurit itu pelindung dan pengawas seisi negeri ini.”

Puranti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya

“Ya. Begitulah. Dan agaknya karena itu pula Pikatan ingin menjadi seorang prajurit. Prajurit yang baik.”

“Apakah ada prajurit yang tidak baik.”

“Tidak ada. Tetapi orang-orang yang menjadi prajurit itu ada yang tidak baik. Tetapi mereka pasti akan dihukum oleh Panglimanya.”

Wiyatsih masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku membawa pesan kakakmu itu.”

“O, kau belum mengatakan pesan itu.”

Puranti terdiam. Dipandanginya wajah Wiyatsih sejenak. Wajah yang memancarkan beribu-ribu macam pertanyaan yang tersimpan didalam hatinya.

“Wiyatsih” berkata Puranti kemudian, “kakakmu ingin minta doamu, agar didalam pendadaran yang terakhir ia berhasil.”

“Apakah pendadaran itu terlampau berat?”

“Apakah yang harus dikerjakan?”

Puranti tidak segera menjawab. Sejenak ia ragu-ragu, apakah ia harus berterus-terang.

“Apa?” desak Wiyatsih.

“Pikatan harus pergi.”

“Pergi? Kemana?”

“Wiyatsih” suara Puranti merendah, “Demak yang sedang sibuk menenteramkan daerah bergolak di pesisir Utara sebelah Timur, merasa terganggu oleh segerombolan penjahat yang bersembunyi di Goa Pabelan. Sementara para prajurit masih harus menghadapi huru-hara itu, maka adalah kebetulan sekali, bahwa ada beberapa orang yang akan menyatakan dirinya untuk menjadi calon prajurit. Kepada mereka itulah diserahkan tugas yang tidak begitu berat dibanding dengan tugas para prajurit itu sendiri.”

“Menangkap penjahat yang ada di Goa Pabelan itu?”

Puranti menganggukkan kepalanya.

“Jadi kakang Pikatan harus pergi berperang melawan penjahat-penjahat itu?”

“Ya.”

“Dan penjahat itu demikian ganasnya sehingga Demak merasa terganggu karenanya?”

“Ya.”

“Apakah padukuhan di sekitar goa itu tidak ada laki-laki yang mampu mengalahkannya? Kalau tidak seorang diri, maka mereka dapat datang beramai-ramai. Sepuluh atau duapuluh orang.”

“Penjahat itu bukan penjahat-penjahat kecil Wiyatsih. Ada tiga orang yang memegang pimpinan. Dua diantaranya benar-benar sepasang kakak beradik yang luar biasa.”

“O, apakah kakang Pikatan akan dapat melakukannya? Kakang Pikatan tidak pernah berkelahi sepanjang hidupnya. Ia adalah seorang anak muda pendiam, dan bahkan selalu menghindar pertengkaran.”

“Tetapi Pikatan sudah membawa bekal yang cukup, Wiyatsih. Itulah sebabnya ia baru beberapa hari berada di Demak.”

“Apakah selama ini ia berguru kepada seseorang?”

Puranti mengangguk.

“Siapa? Siapakah gurunya?”

“Ayahku.”

“O, jadi kau puteri dari guru kakang Pikatan?”

“Ya, dan ia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan pesannya. Ia minta diri dan doamu.”

“Kenapa ia tidak datang sendiri?”

“Pikatan ingin sekali datang sendiri menemui kau. Tetapi ia tidak mempunyai waktu. Ia harus tetap berada di Demak. Setiap waktu ia harus berangkat.”

“Tetapi darimana kau tahu hal itu, dan kapan kakang Pikatan memberikan pesan itu?”

“Aku dapat menjumpainya selagi ia mendapat waktu beristirahat sejenak dan berjalan-jalan di dalam kota. Selebihnya ia harus tinggal di baraknya.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah ibu boleh mendengar?”

“Tidak seluruhnya. Mungkin ibumu tidak sependapat. Tetapi kau sampaikan saja sembah baktinya dan permohonannya agar ibumu juga berdoa untuk keselamatannya.”

“Ibu juga selalu menunggunya. Mungkin ibu sering marah kepada kakang Pikatan. Tetapi ia mengharap kakang Pikatan segera pulang meskipun ibu tidak ingin melihat kakang membuat bendungan itu.”

“Aku akan menyampaikannya.”

“Kalau ada waktu, katakanlah kepadanya, aku dan ibu rindu kepadanya.”

Puranti menganggukkan kepalanya. Lalu, “Aku kira, aku sudah cukup. Sekian lama aku menunggu. Baru sekarang aku dapat menyampaikannya. Besok aku harus kembali. Kakang Pikatan dapat berangkat setiap saat.”

“Dimana kau bermalam?” bertanya Wiyatsih, “apakah kau tidak bermalam disini saja?”

Puranti menggelengkan kepalanya.

“Jadi dimana?”

“Aku bermalam di hutan Sambirata.”

“Di hutan Sambirata?, “ Wiyatsih terkejut.

“Ya.”

“Di hutan yang wingit itu? Tidak seorang pun yang berani memasukinya tanpa kepentingan yang sangat mendesak. Kau bermalam disana seorang diri?”

“Ya. Aku bermalam di hutan itu seorang diri. Niatku baik dan aku tidak mengganggu siapapun. Kecuali itu, aku serahkan diriku sepenuhnya kepada Allah SWT. Seandainya ada mahluk halus di hutan itu yang menggangguku, maka kekuasaan Allah tidak akan dapat diingkari lagi, Kekuasaan Allah melampaui segala-galanya yang kasat mata atau pun yang tidak.”

“O” Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku bermalam beberapa malam di hutan itu menunggu kesempatan menemuimu tanpa dicurigai seseorang. Tetapi aku hampir gagal. Akhirnya aku paksa juga memasuki halaman rumah ini. Adalah kebetulan sekali aku mengetuk dinding pada bilik yang benar.”

Wiyatsih masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi heran dan kagum kepada perempuan yang bernama, Puranti itu. tampaknya ia seorang yang tangkas, berani, dan sudah tentu pandai mempergunakan pedang yang dibawanya itu.

Tidak ada seorang perempuan pun, di sekitar Alas Sambirata yang berpakaian serupa itu dan apalagi membawa pedang di lambung. Tetapi seperti yang dikatakannya, Puranti adalah anak perempuan dari guru kakaknya.

Ia tentu mendapat warisan dari ayahnya. Bukan berupa harta benda. Tetapi ia pasti mempunyai kemampuan seperti ayahnya, atau setidak-tidaknya sebagian dari kepandaian ayahnya itu.

“Wiyatsih” berkata Puranti itu selanjutnya, “aku akan segera minta diri. Besok pagi-pagi benar aku sudah meninggalkan hutan Sambirata. Aku akan kembali ke padepokanku dahulu, sebelum aku pergi ke Demak.”

“Dimanakah padepokanmu?”

“Di kakí pegunungan Gajah Mungkur.”

“Dimanakah letaknya?”

“Di lereng Utara Gunung Merbabu. Gunung yang tampak dari padukuhanmu ini.”

“Gunung Merapi maksudmu?”

“Disebelahnya. Bukankah kau melihat puncak yang satu lagi? itulah Gunung Merbabu.”

“Dan rumahmu berada di seberang Gunung itu?”

Puranti menganggukkan kepalanya.

“Jauh sekali.”

Puranti menggeleng, “Tidak begitu jauh.”

“Dan kau pergi kesana sendiri melalui hutan, lembah dan gunung?”

“Ya.”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Tidak terbayangkan olehnya, bagaimana sulitnya perjalanan Puranti. Tetapi agaknya perempuan dengan pedang di lambung itu tidak akan mengalami kesulitan di perjalanannya.

“Kau baik sekali” berkata Wiyatsih kemudian, “kau telah sudi menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menyampaikan pesan kakakku. Seharusnya kau tidak perlu bersusah payah berbuat demikian. Kau adalah anak gurunya. Seharusnya kakang Pikatan menghormatimu. Bukan sebaliknya, malahan ia menyuruhmu menempuh perjalanan sejauh itu. Apalagi kau seorang perempuan.”

Puranti tersenyum, Katanya, “Bukan ia yang menyuruhku. Akulah yang menawarkan diriku untuk menolongnya. Selain dari itu, aku memang ingin melihat adik Pikatan yang cantik ini meskipun nakal sekali.”

“Ah” wajah Wiyatsih menjadi kemerah-merahan.

“Sudahlah. Masuklah kedalam bilikmu. Hari telah jauh malam. Bukankah kau tidak biasa berada diluar di malam hari?”

“Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.”

“Tetapi masuklah. Aku akan sering datang kemari.”

“Sering datang kemari?” Wiyatsih menjadi heran, “bagaimana mungkin. Rumahmu jauh sekali.”

Puranti tersenyum. Katanya kemudian, “Tidak terlalu sering,. Tetapi sekali-sekali kelak aku akan kembali kemari.”

“Terima kasih. Kau terlalu baik.”

“Sekarang masuklah. Aku tunggu kau sampai di dalam.”

Wiyatsih ragu-ragu sejenak. Tetapi Puranti mendesaknya, “Masuklah. Kau dengar suara kotekan itu? Mereka pasti para peronda yang berkeliling.”

Wiyatsih mengangguk. Perlahan-lahan ia bergeser dari tempatnya. Sejenak kemudian ia berjalan melintasi longkangan naik ke tangga pintu butulan. Dimuka pintu ia masih berpaling, tetapi ia hanya melihat bayangan hitam di sudut rumahnya. Bayangan Puranti yang masih saja berlindung didalam kegelapan.

Namun demikian Wiyatsih masih melihat Puranti melambaikan tangannya.

Wiyatsih pun melambaikan tangannya pula. Sejenak ia masih berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia pun segera masuk kedalam. Perlahan-lahan sekali ia menutup pintu rumahnya dan menyelaraknya dari dalam.

Sambil berjingkat ia berjalan dengan hati-hati, kembali kedalam biliknya. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuhnya menelentang. Tetapi ia sama sekali tidak segera memejamkan matanya. Dicobanya membayangkan kembali perempuan yang bernama Puranti itu, selagi ia berpakaian sebagai seorang gadis pedesan yang sederhana, melintasi jalan ketika ia kembali dari mencuci pakaian bersama kawan-kawannya. Dan baru saja ia bertemu dengan gadis itu juga, tetapi dengan pakaian yang jauh berbeda.

“Ia baik sekali. Ia baik terhadap kami, mungkin juga baik sekali terhadap kakang Pikatan. Atau barangkali” Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bergumam, “Kalau saja ia kelak dapat menjadi kakak iparku. Ia pasti sangat baik, dan barangkali ia mau mengajarku olah kanuragan. Sekedar untuk menjaga diri.”

Wiyatsih tidak segera dapat tertidur. Tetapi ia berangan-angan hampir semalam penuh.

Ketika ayam jantan berkokok di pagi buta, Wiyatsih masih belum juga tidur. Bahkan ia bergumam, “Mungkin Puranti sudah meninggalkan Alas Sambirata.”

Tiba-tiba bulu di seluruh tubuhnya meremang. Hutan itu meskipun tidak begitu besar, tetapi wingit. Hanya mereka yang mempunyai keperluan yang sangat mendesak sajalah yang berani memasukinya. Itu pun dengan segala macam syarat untuk keselamatannya.

Dalam pada itu, seperti yang diduga oleh Wiyatsih, Puranti pun telah berkemas pada saat ayam jantan berkokok. Tetapi berbeda dengan Wiyatsih, ia justru telah dapat tidur nyenyak begitu ia datang dari rumah Wiyatsih.

Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun segera meninggalkan Alas Sambirata. Puranti singgah sebentar di Kali Kuning untuk mencuci mukanya dan sedikit membasahi tubuhnya. Kemudian dengan pakaian seorang perempuan petani ia mulai perjalanannya kembali kepadepokannya di lereng pegunungan Gajah Mungkur.

Meskipun kadang-kadang Puranti menjumpai persoalan-persoalan kecil di perjalanan, namun persoalan-persoalan itu sama sekali tidak menghambatnya. apalagi menghalangi perjalanannya. Ia datang, kepadepokannya seperti yang direncanakan, setelah Puranti bermalam di perjalanannya satu malam.

***

“Apakah kau dapat bertemu dengan adik Pikatan?” bertanya ayahnya, penghuni padepokan di kaki pegunungan Gajah Mungkur itu. Padepokan kecil yang tidak banyak diketahui orang.

“Ya ayah. Aku sudah berhasil menemuinya. Aku sudah menyampaikan pesan kakang Pikatan kepadanya. Anak itu memang anak yang manis. Agaknya ia sangat rindu kepada kakaknya.”

Ayah Puranti, yang disebut oleh orang-orang disekitarnya Kiai Pucang Tunggal, mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tentu. Gadis itu pasti sudah merindukannya. Pikatan adalah satu-satunya saudaranya. Ia tidak mengenal ayahnya sejak kanak-anak. Baginya Pikatan adalah kakaknya sekaligus ayahnya.”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya pertemuannya dengan gadis disebelah hutan Sambirata itu.

Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk pula. Ia dapat membayangkan, perpisahan yang sudah beberapa tahun itu pasti menumbuhkan perasaan rindu yang luar biasa.

“Seharusnya Pikatan menengok adiknya terlebih dahulu sebelum ia pergi ke Demak. Ternyata ia tidak dapat meninggalkan kota sebelum ia selesai dengan pendadaran terakhir.” berkata Puranti.

Kiai Pucang Tunggal masih saja mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi ia akan segera menyelesaikan tugasnya.”

“Tetapi tugas yang dibebankan kepadanya terlampau berat ayah. Penjahat di Goa Pabelan itu adalah penjahat yang hampir tidak terlawan. Sepasang harimau dari Pabelan itu benar-benar sepasang harimau yang buas.”

“Tetapi ia tidak pergi seorang diri. Setiap kelompok pendadaran terdiri dari sepuluh orang. Demikian juga kelompok kakang Pikatan. Mereka bersepuluh pergi ke Goa Pabelan itu.”

“Sepuluh orang?” ayahnya mengerutkan keningnya.

“Ya. Demikianlah rencana yang dikatakannya kepadaku.”.

“Sepuluh orang. Hanya sepuluh orang” ayahnya bergumam

“Kenapa, ayah. Apakah ayah mempunyai pertimbangan lain?”

“Tidak, tidak Puranti. Aku tidak mempunyai pertimbangan apapun.”

“Tetapi agaknya ayah sedikit bimbang?”

Kiai Pucang Tunggal tidak segera menyahut. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah tidak ada seorang pun prajurit yang ikut serta?”

“Mereka dipimpin oleh seorang prajurit. Tidak lebih dari seorang prajurit, karena sebagian terbesar dari prajurit Demak sedang melawat ke Timur.”

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Namun tatapan matanya seakan-akan jauh membenam ke dunia angan-angannya.

“Apakah yang ayah cemaskan?” bertanya Puranti.

“Apakah Pikatan termasuk seorang calon yang baik?”

“Maksud ayah dibandingkan dengan kawan-kawannya?”

“Ya.”

“Ya ayah. kakang Pikatan termasuk calon yang baik. Meskipun kakang Pikatan tidak menunjukkan seluruh kemampuannya, namun sudah nampak kelebihannya dari calon-calon yang lain. Usahanya mengumpulkan bekal dipadepokan ini tidak sia-sia.”

Kiai Pucang Tunggal mengangguk kecil. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Apakah kau akan menemuinya?”

“Ya ayah. Aku akan menyampaikan hasil perjalananku. Aku sudah menyampaikan pesannya.”

“Baiklah. Pergilah ke Demak. Katakan bahwa kau telah berjumpa dengan adiknya,” ayahnya berhenti sejenak, lalu, “tetapi kau tidak usah tergesa-gesa kembali.”

“Maksud ayah?”

“Bukankah Pikatan akan pergi ke Goa Pabelan?”

“Ya” Puranti mengangguk.

“Awasilah anak itu.”

“Ayah. Bukankah ia pergi bersama beberapa orang calon prajurit dan dipimpin oleh seorang prajurit? Bagaimana mungkin aku dapat pergi bersama mereka?”

“Kau tidak pergi bersama mereka. Tetapi kau dapat mengawasi mereka. Aku merasa cemas, bahwa sesuatu akan terjadi. Penjahat yang bersembunyi di Goa Pabelan menurut pendengaranku adalah penjahat-penjahat yang bertangan api. Dari tangannya seakan-akan dapat menyala api yang membakar setiap orang yang disentuhnya.”

“Benar begitu?”

“Tidak seperti arti katanya bahwa tangannya dapat menyala. Tetapi sepasang kakak beradik yang memimpin penjahat-penjahat itu mempunyai kecepatan tangan yang luar biasa. Tusukan jari-jarinya dapat melubangi perut seperti ujung pedang. Kau mengerti?”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku sudah memberi bekal olah kanuragan secukupnya kepada Pikatan. Tetapi aku tidak tahu, bagaimanakah kawan-kawannya yang lain. Seandainya pada suatu saat Pikatan harus menghadapi dua kakak beradik itu, maka aku kira ia tidak akan mampu.”

Puranti menganguk pula.

“Apakah kau mengerti maksudku?”

“Aku mengerti ayah.”

“Apalagi kalau guru mereka ada di goa itu pula. Jangankan sepuluh orang, dua kali lipat dari itu tidak akan dapat mengalahkan kelompok penjahat di Goa Pabelan itu.”

“Apakah ayah tahu, berapa orang yang bersembunyi di Goa itu seluruhnya?”

“Aku tidak tahu Puranti. Tetapi kira-kira juga sekitar sepuluh orang.”

Puranti menggigit bibirnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah tandanya kalau guru mereka sedang berada ditempat itu pula ayah?”

“Tidak ada tanda-tanda khusus Puranti. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi. Menurut pendengaranku, gurunya berasal dari tempat yang jauh. Jauh sekali.”

Puranti mengangguk-angguk, setiap kali. Ia mencoba mengerti semua yang dikatakan oleh ayahnya itu. Sejenak terbayang di wajahnya, laki-laki yang tinggi besar, bertubuh kasar, berjambang dan berjanggut kusut duduk dimuka mulut Goa Pabelan, seakan-akan mereka sengaja menunggu kedatangan calon-calon prajurit yang masih hijau. Memasukkan mereka kedalam perangkap dan langsung membinasakannya seorang demi seorang.

Puranti menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah ayah” berkata Puranti kemudian, “aku akan mengikuti kelompok calon-calon prajurit yang sedang mengalami pendadaran. Mereka diterima apabila mereka dapat mengalahkan penjahat-penjahat itu.”

“Ya, pergilah. Aku kira perwira yang mengirimkan sepuluh orang itu agak salah hitung. Benar-benar suatu pendadaran yang berbahaya. Mereka harus mengirim sedikitnya lima belas orang. Tetapi aku tidak berhak mengubah keputusan itu. Semuanya tergantung kepada para Pendega di Demak.”

Puranti tidak menyahut. Namun hatinya menjadi berdebar-debar.

“Kapan kau akan berangkat ke Demak?” bertanya ayahnya kemudian.

Bersambung ke bagian 2

6 Tanggapan

  1. Bismillah……
    Start untuk mulai menikmati salah satu karya Alm. SH Mintardja.
    Terima kasih, atas up load Yang Terasing. Semoga lancar biar bacanya nyaman..he…he…he….

  2. baru lihat yang ini

  3. Terima kasih, sudah lama saya ingin membaca ulang serial ini …… Dulu pun bacanya melompat-lompat, tidak berurutan ….

  4. kalo sampai ‘dicokot’ gentabuana settingnya mungkin berubah d era modern, pikatan n puranti tdk lg menyamdang pedang di lambung tapi pistol n senapan.

  5. Menarik..

Tinggalkan komentar